Langsung ke konten utama

Kopi: Minuman Kaum Sufi

Dalam majelis bakda maghrib di Masjid Muhammad Salim kemarin, Pak Hudan, mas Dany, juga lainnya, ⁩ ingin mendiskusikan bagaimana hukumnya mengantuk ketika khutbah Jum'at. Beberapa jamaah yang laint ermasuk pak Sarpin, tokoh Muhammadiyah Jetak Ngasri, kemudian memberi pandangan menurut fiqih atas pertanyaan Pak Hudan ini. Saya yang ikut di majelis itu tertarik berbagi cerita tentang cara ulama-ulama dulu agar kuat terjaga, melek dan berdzikir sepanjang malam dengan mengkonsumsi kopi. Cara ini bisa kita tiru juga ketika akan berangkat Shalat Jum'at, tentunya. 

Kopi pertama kali menjadi minuman populer di kalangan para ulama di dunia Islam, terutama di Yaman, sekitar abad ke-15. Menurut banyak sumber sejarah, kopi awalnya digunakan oleh para sufi di Yaman sebagai minuman untuk membantu mereka tetap terjaga selama ibadah malam (qiyam al-lail) dan dzikir. Para sufi menemukan bahwa meminum kopi dapat membantu mereka melawan kantuk dan menjaga konsentrasi saat melaksanakan ibadah dan meditasi yang panjang pada malam hari.

Para ulama dan sufi di Yaman menyadari bahwa meminum kopi memiliki efek stimulasi yang dapat meningkatkan kewaspadaan dan menjaga mereka tetap terjaga. Karena itu, kopi menjadi minuman pilihan mereka saat melakukan ibadah malam, membaca Al-Qur'an, dan melakukan dzikir panjang. Tradisi ini kemudian menyebar ke berbagai bagian dunia Islam lainnya, seperti Mesir, Makkah, dan Madinah, melalui para pedagang, peziarah, dan ulama yang melakukan perjalanan.

Seiring waktu, kopi menjadi semakin populer dan menyebar ke berbagai belahan dunia, termasuk ke Eropa, di mana ia menjadi bagian dari kehidupan sosial dan budaya. Awal mula kopi sebagai minuman para ulama ini menunjukkan bagaimana kebudayaan Islam memiliki peran penting dalam memperkenalkan kopi ke seluruh dunia.

Sekedar berbagi pandangan fiqih. Tertidur dalam posisi duduk dapat membatalkan wudlu atau tidak, tergantung pada tingkat kesadaran seseorang saat tertidur dan bagaimana posisi duduk tersebut.

Dalam fikih Islam, ada beberapa pendapat ulama mengenai tidur dan pembatalan wudlu: pertama: Tidur yang Membatalkan Wudlu. 
Tidur yang membatalkan wudlu adalah tidur dalam kondisi di mana seseorang tidak lagi memiliki kesadaran atau kendali atas dirinya. Jika seseorang tertidur dengan posisi tubuh yang memungkinkan keluarnya angin tanpa disadari (misalnya, tertidur terlentang atau dalam posisi yang tidak stabil), maka wudlunya dianggap batal.

Kedua: Tidur yang Tidak Membatalkan Wudlu. 
Tidur dalam posisi duduk yang tetap dan stabil, di mana seseorang tetap dalam kendali atas dirinya dan tidak memungkinkan keluarnya angin, umumnya dianggap tidak membatalkan wudlu. Misalnya, dalam beberapa mazhab (seperti Mazhab Syafi'i dan Hanafi), tidur dalam posisi duduk yang tetap dan stabil dianggap tidak membatalkan wudlu karena sulit untuk membayangkan adanya sesuatu yang keluar tanpa disadari.

Kesimpulannya, tidur dalam posisi duduk tidak membatalkan wudlu, asalkan posisi tersebut stabil dan tidak memungkinkan keluarnya sesuatu tanpa disadari. Namun, jika posisi tidur memungkinkan hilangnya kendali atas tubuh, wudlu harus dilakukan kembali. Dr. Faizuddin Harliansyah*

*Jamaah Masjid At-Tanwir PRM Semanding Dau Kab. Malang

Komentar