Salah satu contoh judul tulisan yang dimuat sebuah media berjudul "Gen Z Dominasi Kaum Nganggur, Segini Rentang Usianya" misalnya. Tentu judul semacam ini akan memprovokasi Gen Z yang alhasil akan menyebabkan Gen Z tersinggung. Hal ini pulalah yang menyebabkan mereka membalas dengan perkataan semisal, mengapa melahirkan anak jika tidak mau merawat, anak dimasukkan ke pondok tapi orang tua tidak mau dimasukkan ke panti jompo (hal ini mengacu pada sebuah peristiwa kekerasan pada anak yang menyebabkan anak itu meninggal di sebuah pondok pesantren padahal anaknya sudah minta tolong kepada orang tuanya).
Kejelekan pada generasi muda yang dilihat oleh generasi yang lebih tua, pada dasarnya juga berasal dari generasi tua sendiri. Sebagai misal, berapa banyak di antara generasi tua yang ambil raport anaknya saja tidak mau, sehingga terkesan seperti pendidikan itu tidak penting, tapi begitu nilai anaknya jatuh, menyalahkan anaknya dengan menyebut-nyebut biaya pendidikan. Sekolah seolah dianggap sebagai mesin cuci, begitu masuk sekolah menjadi bersih. Jika bagus, maka orang tua akan berbangga diri dengan mengatakan bahwa dirinyalah yang paling berperan, sedang ketika anaknya bermasalah maka segala kesalahan akan ditimpakan pada gurunya. Dalam hal ini, ada beberapa kesalahan yang dilakukan orang tua, yakni tidak adanya penghormatan terhadap ilmu, tidak menunjukkan kepada anak tentang pentingnya ilmu, serta hilangnya rasa hormat kepada guru.
Mengapa ini semua terjadi? Karena saat ini kita terlalu terpengaruh barat tentang bagaimana cara memperlakukan ilmu. Ilmu hanya digunakan sebagai alat perdebatan dan mencari kemuliaan dunia, alih-alih sebagai cara untuk membangun peradaban. Betapa banyak penemuan penemuan baru muncul, tapi pada kenyataannya itu tidak membantu kehidupan umat manusia menjadi lebih baik, kecuali segelintir orang. Kesenjangan sosial bukan semakin berkurang, malah semakin bertambah. Hal-hal yang sebenarnya tidak perlu diperdebatkan, semisal jenis gender, menjadi hal-hal yang diperdebatkan. Dana pun digerakkan untuk perdebatan gender, alih-alih untuk menggerakkan ekonomi umat, supaya generasi muda memiliki pekerjaan. Permasalahan ini terlihat sangat kentara di dunia barat. Pun juga dalam kelompok agama, perbedaan fiqih diperkeras, karena dengan mengeraskan perbedaan fiqih, ulama sebagai penjaga moral umat terpecah konsentrasinya karena kelelahan dalam perdebatan.
Apa yang perlu kita lakukan? Hemat saya, yang perlu kita lakukan adalah memperbanyak belajar fiqih adab, muamalah, dan nikah. Kita terlalu banyak konsentrasi pada fiqih ibadah. Fiqih adab kita lalaikan, sehingga lupa bagaimana cara berinteraksi yang baik dengan sesama walaupun berbeda pendapat, apalagi berbeda agama. Fiqih muamalah kita lupakan, sehingga lupa bagaimana cara menggunakan harta, yang kita tahu hanya mencari harta, itu pun kadang kita tidak tahu, yang kita cari itu halal ataukah haram. Fiqih nikah pun hanya belajar sampai bab akad nikah dan doa nikah. Bab tentang bagaimana membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan penuh rahmat ditinggalkan. Dengan kembali mempelajari fiqih fiqih yang terlalaikan ini, harapannya generasi muda bisa terdidik dengan baik, walaupun mungkin terlambat, mengingat fiqih-fiqih tersebut harusnya sudah dipahami sejak sebelum menikah, dan mudah mudahan, kerenggangan antara generasi tua dan muda ini bisa diperbaiki.
---
> Kamis, 6 Juni 2024
> Ayah Khadijah
> Seorang Gen Y / Millenial
Komentar
Posting Komentar